Malam terlalu genting pula pekat tuk langkah ku menuju gubug dibalik bukit tepi kali urang,tempat ku pula para raja kaya melepas lelah. Jangankan untuk menikmati perjalanan ini, bisa bernafas saja sangat sulit ditengah terpaan dingin udara di kaki gunung merapi. Setiap langkah q merasa aneh tak seperti hari biasanya. sepi senyap, tak seorang pun lalu lalang.
"Jangankan seorang manusia, hewan liar penghuni hutan ini aja tiada nampak batang hidungnya, pula jeritan hewan liar pun tiada terdengar......
Sebenarnya ada apa gerangan yang terjadi malam ini?"
***
Belakangan ini keadaan desa ku tidak seperti biasanya. Beberapa sesepuh desa berkumpul dengan busana khasnya melakukan tirakat. Masih teringat dalam kepala ku kata-kata Slamet yang setiap harinya berprofesi seperti ku, cah angon.
"Aji? ayo ikut saya ngungsi!
"gunung merapi mau meletus, dan wedhus gembel akan melewati desa kita."
" Meletus? ah gak mungkin.... mbah Karta aja belum menyuruh ku pergi.
dan wedhus gembel itu apa sih?
sama wedhus aja ko takut...." celetuk ku menanggapi celoteh Slamet.
"oOOO.......... dasar semprul, bocah ko mbregudul seenaknya sendiri.
Yo wis kalo kamu ga percaya, tapi kalo aku dan penduduk di desa ini mending ngungsi seperti yang di anjurkan pak pemerintah." Jawab si slamet dengan nada jengkel kemudian pergi berlalu meninggalkan ku.
"Apa ya yang membuat slamet jengkel seperti itu? La wong masalah wedus gembel aja ko harus ngungsi.
Katanya sampai mbah slamet ( harimau putih) pun takut dan memilih kabur dari singgasananya"
***
Kaki ku masih terus berjalan menggiring sapi dan kerbo pulang. Dalam perjalanan aku berpapasan dengan Mbah Karta, salah satu sesepuh desa ku di lereng Merapi.
"Mbah...." sapa ku sambil menganggukkan kepala.
" Yo le.... ngopo siro nganti wengi angon?
ko ora melu ngungsi bareng liyane?" sejenak mbah Karta menghentikan langkahnya dan bertanya pada ku.
" Kulo mboten purun mbah, amargi kulo mboten mangertos punapa kemawon ingkang badhe dumadi wonten merapi ngriki. ingkang premana punika anggen kulo angon samben dinten." Jawaban polos ku menjawab pertanya mbah Karta.
" pancen papan kene iku ijo royo- royo, gemah ripah loh jinawi, nanging yen wancine wis tekan kabeh iki bakal dadi awu.
Sing dak jaluk , siro mlakuo ngetan. Mlakuo terus nganti ketemu papan kang alase gumebyar.
neng kono siro nemoni bocah sabarak'an mu ananging jenggoten.
age ndang budhal wengi iki le..." mbah Karta mewejang ku. Akupun menuruti wejangan mbah Karta. Malam itu pula aku urungkan niatkembali pulang tetapi melanjutkan langkah menuju arah timur.
***
Sang fajar tlah menyapu sudut-sudut gelap sisa malam. Semalaman aku berjalan menggiring ternak menuju arah timur. Berhentilah disebuah sungai yang tak terlalu deras arusnya. Aku biarkan hewan ternakku memakan rerumputan di tepi sungi, sedangkan ku membasuh diri dan hendak subuhan.
"Ataghfirullahal adzim" sontak terkejut setelah salam dan kupandangi Gunung Merapi berawan tidak seperti biasanya. Hitam pekatnya membumbung tinggi berbeda dengan awan sekitarnya yang cerah.
"Ada apa gerangan yang terjadi di daerah ku Ya Allah?" gumam ku sangat heran menatap itu. Sejenak ku teringat dengan wejangan mbah Karta. Kaki ini kembali berjalan menggiring ternak dengan perang batin dengan tanda tanya yang besar.
***
Tujuh hari sudah perjalanan panjang ku, senja tlah tenggelam, larut bersamaan langkah kaki ini berada di sebuah hutan yang lebat serta luas.
"Apakah disini tempat yang di maksud Mbah Karta?" gumam ku sambail mematik api membuat perapian.
Terjaga ku menatap sapi dan kerbau ku yang nyenyak memamah biak.
" He cah angon....." suara itu membuat ku terkejut. Tak lama kemudian pundak ku di tepuk, semakin gemetarlah badan ku. Kuberanikan diri menoleh ke hadapan orang misterius yang menepuk pundakku.
" Sopo siro iku?" suaraku sedikit gemetar. Sekilas ku amati pemuda ini seumuran ku, namun memiliki jenggot yang panjang. Belum sempat pemuda itu menjawab, aku langsung menebaknya.
" siro Bocah jenggot ?"
"Pancen bener anggonmu mbedek, jeneng ku Umbara. Nanging akeh podho ngundang bocah jenggot, sugeng rawuh ing tlatah wono agung." Bocah jenggot mengenalkan jati dirinya dan mengucapkan selamat datang.
" Siro asale saka ngendi cah angon?" bocah jenggot kembali bertanya.
Malam itupun q menceritakan semua asalku, maksud kedatangan ku menemui bocah jenggot, juga kejadian diwaktu subuh itu padanya. Tak terasa air mata ini jatuh tak terbendung lagi.
" Awak'e dewe emang wis digariske Hang Hyang Widi biso kumpul lan nyawiji nglestarekake tlatah Wonoagung iki. Lan siro kudu akeh tirakate ugi matur suwun marang Ghusti amerga bisa selamet saka murkaning Gusthi."
Mendengar jawaban bocah jenggot, hatiku luluh, air mata ini tak bisa ku hentikan hingga aliran air mata.
" syukur alhamdulillah ya Allah gusti, amergo luh mu cah angon lan kuasane Gusti Allah mbesokke wong kang manggon ing Wono agung ora bakal kasatan banyu."
Betapa terkejutnya aku melihat kekuasaan Allah yang menjadikan air mataku terkumpul menjadi sebuah telaga nyata di depan pandangan ku.
Untuk mengucap syukur kehadirat Allah Swt, aku dan bocah jenggot tirakat dengan bertapa di salah satu gua di dekat telaga.